Jumat, 11 Februari 2022

Contoh Cerpen Sejarah Kelas XII SMA, Tugas Bahasa Indonesia

 Tugas Bahasa Indonesia| Menuliskan Cerpen Berlatar Rakyat Purworejo


Oleh : Dika Ristiningsih



Loano, Si Daerah Tertua Di Purworejo

 

Suasana sunyi nan sepu menyergapi kompleks makam pendiri daerah Loano, salah satu daerah tertua di Purworejo, Jawa Tengah. Letaknya di gugusan perbukitan Gunungdamar, sekitar 1,5 kilometer ke arah barat kantor Polsek Loano. Sesekali suara tonggeret dan serangga yang muncul sebagai penanda akhir musim penghujan, turut menyapa dengan gemuruh riuh. Jauh masuk ke dalam hutan, suara mesin gergaji mengalun, memotong batang pohon di hutan-hutan Purworejo.

Di kompleks makam itu, terdapat dua nisan utama dalam satu cungkup. Di sekitar cungkup utama itu, masih terdapat sekira 13 nisan lain yang berukuran lebih kecil.

“Dua nisan besar itu adalah persemayaman terakhir Adipati Anden dan istrinya, Nyai Dewi Retno Marlengen. Dan 13 nisan lain adalah keturunannya. Dan di antara 13 nisan kecil itu ada satu nisan Tionghoa bernama Nyai Tan Ing Hwat atau Mak Kempiang,” ujar Erwan Wilodilogo, 37 tahun, perangkat desa Lowano sekaligus penulis buku Lowano.

“Adipati Anden itu siapa, Pak?” Tanyaku pada bapak itu. Bapak Erwan itu membisu tak berkutik. Seperti memikirkan sesuatu pada masa lampau pikirku. Karena beliau ialah saksi mata. Hanya respon itu yang mampu terjawab Pak Erwan ketika aku bertanya siapa Adipati Arden. Selang waktu cukup lama menjawab pertanyaanku, beliau baru bercakap bersamaku dengan pikiran yang membawa pada masa lalu. Kudengarkan saja cerita bapak itu sampai akhir.

“Beliau putra Haryo Bangah dari Kerajaan Galuh, Jawa Barat yang terbilang cukup arogan. Haryo Bangah pergi ke arah timur untuk mencari adiknya, Raden Tanduran setelah kalah bertarung dengan Ciung Wanara. Menurut Saleh Danasasmita dalam Babad Pakuan atau Babad Pajajaran I, Haryo Bangah ialah pewaris takhta Kerajaan Galuh.”

Hingga di tepi sungai Bogowonto, Haryo Bangah putus asa karena belum juga menemukan adiknya. Haryo Bangah sempat jatuh sakit di daerah yang namanya Bagelen. Ia sakit karena tak kunjung dapat menemukan adiknya. Depresikah ia?

Keputusan mutlak untuk tidak meneruskan perjalanan dan menetap di daerah itu ia lakukan. Dalam perjalanannya yang ditemani beberapa pendamping dan meminta mereka membuat perkubuan sederhana. Tak butuh waktu lama mereka mulai berinteraksi dengan penduduk setempat. Haryo Bangah selalu bercerita ihwal perjalanannya kepada penduduk. Penduduk pun menyebut rombongan Haryo Bangah sebagai sing gelo atau mereka yang kecewa.

Haryo Bangah menyunting seorang gadis desa dan menurunkan beberapa putra. Salah satunya sering dipanggil Anden yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Anden Lowano. Bukan saja dapat membangun keluarga, perkubuan sederhana Haryo Bangah pun berkembang. Hingga pada akhirnya daerah itu lebih dikenal sebagai Singgelopuro.

Pangeran Anden tumbuh menjadi pemuda tangkas. Dia diproyeksikan sebagai penguasa selanjutnya dari Kadipaten Singgelopuro. “Putraku, Ayahanda ingin kau jadi prajurit yang hebat.” Pinta seorang ayah kepada anaknya. “Untuk apa ayahanda memintaku? Aku sudah hebat dan kuat, ayah. Aku bisa mengalahkan siapa pun yang ingin aku kalahkan.” Dengan lagak bergaya, anak Haryo Bangah menjawab dihadapannya. “Untuk bekal pengalamanmu, nak. Kamu ini belum apa-apa. Jangan jadi manusia besar kepala! Sungguh tidak baik kau berpikir seperti itu.” Haryo Bangah menjawab dengan penuh bijaksana menasehati putranya. “Aku tidak mau!” Guci kecil kesayangan Ibunda dibanting ke atas lantai. “Yang masih lemah itu saudara-saudaraku. Aku ini ksatria, tidak pantaslah ayah jadi seorang prajurit.” Ujar Adipatu itu menolak mentah-mentah.

Sikap masa muda Adipati yang arogan dan batu ini luluh terpaksa karena selang waktu Haryo Bangah meninggal. Adipati Anden menuruti perintah ayahnya hingga ia sukses menjadi perwira di Majapahit. Bahkan, ia menyunting Ratna Marlengen, saudara perempuan dari salah satu selir raja. Namun, mahligai keluarga mereka tak tenteram karena dirongrong oleh Jayakusuma, yang juga masih kerabat Majapahit. Anden mengetahui asmara terpendam Jayakusuma terhadap istrinya.

“Rasa sabarku sudah habis Dinda! Kau begitu membuat kakanda terpukul. Akan aku binasakan dia, Si Jayakusuma itu.” Ujar Anden dengan muka merah seperti api sedang melahap bangunan.

“Kau hanya akan merugikan dirimu sendiri, Kakanda. Janganlah bertindak bodoh sebelum kau berpikir dan mengerti.” Pencegahan yang tidak membuahkan hasil ini karena Ratna Marlengen sempat terjatuh kakinya ke dalam selokan hingga Adipati Anden berhasil pergi.

Adipati Anden mencari dimana keberadaan Jayakusuma. Dalam waktu yang lama ia mengelilingi hutan hingga bertemulah dua petarung cinta Ratna. Saat kesabarannya hilang, Anden dan Jayakusuma memutuskan bertarung. Suasana yang tenang, hadirnya mereka telah memecahkan ketenangan di hutan itu.

“Mengapa kau menyerangku, Adipati? Sudah tahukah kau dengan diriku?” Anden tak perduli dan memilih menyerang Jayakusuma. Tak menyangka ia akan kalah sedangkan Jayakusuma tiba-tiba saja menghilang. Sejak itu, Anden merasa malu kepada istrinya, Ratna Marlengen. Hingga beberapa lamanya, mereka tak bertegur sapa, meski masih seatap.

 Pada satu waktu, Ratna Marlengen diiringi pembantunya berjalan di dekat pertemuan sungai Bogowonto dan sungai Kodil dan menemukan sebuah telaga yang kini disebut sendang Ngumbul. Di dekat telaga itu terdapat pohon besar yang berbuah menarik. “Apa nama pohon itu?” tanya Ratna kepada para pembantunya. Tak ada jawaban dari mereka. Karena memang tidak ada yang tahu nama pohon besar itu. “Itu namanya pohon Lo,” jawab seorang laki-laki. Ratna Marlengen menoleh ke belakang dengan terkejut. Ternyata suaminya, Adipati Anden, berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Entah dari mana datangnya.

“Kau disini?” “Kakanda, masihkah ingin bersikap bodoh, arogan, dan batu seperti kala itu? Tidakkah kau lihat sikapmu benar-benar merugi, suamiku. Lihatlah, tindakan yang tanpa dipikirkan dapat merusak yang kau punya.” Kata Ratna membawa buah dari pohon itu. “Tidak, Dinda. Tidak mengulang kembali.”

Akhirnya, kebekuan yang sempat terjadi menjadi cair. Mereka saling berbicara kembali. Masyarakat pun kemudian menyebut lokasi itu sebagai Lowano: Lo (pohon) dan wanuh (menyapa).

Mataku membelakak ketika yang diceritakan Pak Erwan usai. Karena memang baru tahu oleh generasi muda di zamanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar